Minggu, 05 Juni 2011

SEJARAH FOTOGRAFI

 

Foto pertama dibuat pada tahun 1826 selama 8 jam. Louis Jacques mande Daquerre merupakan bapak fotografi dunia (1837). Kamera Obcura merupakan kamera yang pertama kali yang dipakai untuk menggambar kemudian memotret. Kamera Kodak (Eastmant Kodak) pertama kali ditemukan oleh Snapshooter 1888 di Amerika. Konstribusi fotografi ke dunia film pertama kali di pelopori oleh Eadward Muybridge. Flas atau lampu kilat pertama kali ditemukan oleh Harold E. Edgerton pada tahun 1938.Memotret benda-benda mati disebut dengan still life. Penemu negative film John Hendri Fox Talbot dari inggris. Negatif film tersebut di buat selama 40 detik dibawah terik matahari. 

 Beberapa abad kemudian, banyak orang yang menyadari serta mengagumi fenomena ini, beberapa diantaranya yaitu Aristoteles pada abad ke-3 SM dan seorang ilmuwan Arab Ibnu Al Haitam (Al Hazen) pada abad ke-10 SM, dan kemudian berusaha untuk menciptakan serta mengembangkan alat yang sekarang dikenal sebagai kamera. Pada tahun 1558, seorang ilmuwan Italia, Giambattista della Porta menyebut ”camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar (Bachtiar: 10).

Fotografi kemudian berkembang dengan sangat cepat. Menurut Szarkowski dalam Hartoyo (2004: 22), arsitek utama dunia fotografi modern adalah seorang pengusaha, yaitu George Eastman. Melalui perusahaannya yang bernama Kodak Eastman, George Eastman mengembangkan fotografi dengan menciptakan serta menjual roll film dan kamera boks yang praktis, sejalan dengan perkembangan dalam dunia fotografi melalui perbaikan lensa, shutter, film dan kertas foto.

Tahun 1950 mulai digunakan prisma untuk memudahkan pembidikan pada kamera Single Lens Reflex (SLR), dan pada tahun yang sama Jepang mulai memasuki dunia fotografi dengan produksi kamera NIKON. Tahun 1972 mulai dipasarkan kamera Polaroid yang ditemukan oleh Edwin Land. Kamera Polaroid mampu menghasilkan gambar tanpa melalui proses pengembangan dan pencetakan film.

Serta penemuan-penemuan perlengkapan kamera salah satunya adalah Lighting yang ditemukan oleh Ibn al-Haytham, beliau telah membuktikan cahaya bergerak dalam satu garis lurus, dan beliau telah bereksperimentasi dengan lensa, cermin, serakan dan pantulan. Anda akan dapat membaca huraian tentang konsep yang telah difikirkan sejak 1 millenia ini, dalam hampir kesemua buku fotografi asas, malah dalam buku-buku yang banyak membincangkan tentang teori dan applikasi cahaya dalam fotografi seperti Light Science & Magic, An introduction to Photographic Lighting.

Selasa, 31 Mei 2011

Human Interest







Menurut saya foto human interest adalah sebuah model atau gaya pemotretan yang menitikberatkan pada ojek utamanya berupa manusia yang menggambarkan manusia yang sedang beraktifitas lengkap dengan ekspresinya yang tergambar secara detail baik secara individual maupun kelompok, yang utamanya ditujukan untuk menampilkan mood (sedih, senang, tertawa, bahagia, bercanda, berlari, menangis maupun lain sebagainya).
 





Dan biasanya foto-foto human interest yang dapat menggambarkan ekspresi obyeknya dengan kuat selalu disajikan dalam warna hitam putih. Mengapa? Karena foto hitam putih dapat membawa pemirsanya untuk memusatkan perhatian langsung pada ekspresi obyek utamanya tanpa terganggu oleh kehadiran warna-warna.

Foto-foto dengan tema manusia biasanya tercantum sebagai gambar ilustrasi penguat sebuah artikel. Karena seperti dikatakan bahwa sebuah foto bisa lebih kuat maknanya daripada ribuan kata dan foto human interest biasanya diambil dengan cara candid.

Minggu, 22 Mei 2011

Definisi tentang Foto Jurnalistik

Sebuah Definisi Foto Jurnalistik


Apakah foto jurnalistik itu? Buku bertajuk "Kilas Balik 2009-2010" mencoba mendefinisikannya dalam 242 foto pilihan. Buku fotografi setebal 204 halaman yang memuat kumpulan foto terbaik karya 55 pewarta foto Antara dalam dua tahun terakhir itu menjadi definisi visual foto jurnalistik.

Berlebihankah penilaian itu? Tergantung dari sudut mana melihatnya. Yang pasti, buku yang baru saja diluncurkan dan dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) hingga 17 Januari 2011 itu bisa disebut sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi foto jurnalistik di era multimedia dan di tengah revolusi dunia fotografi yang kini semakin masif.

Mengapa bisa disebut revolusi? Saya kira kita semua sepaham bahwa sekarang ini fotografi bukan lagi sebuah bidang yang hanya digeluti oleh segelintir orang dengan keahlian khusus pula, namun kini hampir semua orang familiar dengan dunia "mat kodak" ini. Bahkan kini, fotografi digital menjadi kebutuhan setiap orang, apalagi ditunjang dengan hadirnya kamera digital yang tertanam pada ponsel dengan teknologi yang tak kalah dengan kamera-kamera biasa.

Fotografi menjadi sebuah dunia yang kian merakyat dan inklusif. Maraknya jejaring sosial di Internet yang semakin mudah diakses dari ponsel turut menunjang hal itu. Sebuah produk foto digital begitu cepat dan mudah disebarluaskan di kalangan khalayak, baik melalui Facebook, Twitter dan lainnya. Persis cara kerja dunia jurnalistik, bahkan terkadang lebih cepat penyebarannya.

Ketika masyarakat makin akrab dengan dunia fotografi digital, dimanakah posisi foto jurnalistik saat ini? Buku fotografi 'Kilas Balik 2010' barangkali bisa memberikan jawabannya. Paling tidak, dengan mencermati foto-foto yang ditampilkan dalam buku ini akan tercermin bagaimana dan seperti apakah foto jurnalistik itu.

Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya. Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah foto untuk bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.

Foto jurnalistik adalah bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame. Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata.

Para pewartanya harus selalu berada di garis depan. Mereka pun selalu siaga di garis belakang dalam mewartakan sebuah berita kepada masyarakat luas. Pewarta foto juga dituntut sigap dalam menangkap setiap "momentum" dari sebuah peristiwa, membingkainya dengan dalam sebuah gambar yang berbeda dari apa yang dilihat oleh khalayak awam. Pun yang terpenting, mereka harus mengerti dan paham atas peristiwa yang sedang diabadikannya.

Semua permasalahan itu barangkali bisa ditemukan definisi visualnya ketika menelaah lembar demi lembar buku "Kilas Balik 2009-2010". Terekam dengan jelas bagaimana seorang pewarta foto harus berada di garis depan dalam merekam peristiwa yang terjadi. Merekalah orang-orang pertama yang mengabarkan, bahkan dalam situasi yang mungkin bisa membahayakan jiwanya.

Di sisi lain, buku ini juga menjadi catatan sejarah. Di setiap penggalan sejarah selalu ada pembelajaran. "Kilas Balik 2009-2010" mencoba membuka kembali lembar-lembar sejarah yang tersimpan dan terkunci di masa lalu, mencoba merangkai dalam bingkai kekinian sehingga tersingkap makna-makna yang tersirat di balik sebuah peristiwa. Segala peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2009-2010 dielaborasi, dimaknai kembali dan dipaparkan dalam sebuah sajian visual.

Buku ini juga dapat dianggap sebagai sebuah pertanggungjawaban atas kesaksian para pewarta foto Antara yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran universal yang diwujudkan dalam imaji digitalnya.

Pada akhirnya, jika kita sepakat untuk menjadikan buku ini sebagai sebuah definisi, dialog dan pengayaan lebih lanjut tetap diperlukan. Dan, layaknya sebuah definisi, tentunya akan muncul diskursus apakah sebuah definisi itu menjadi terlalu sempit atau malahan melebar.

Namun sebagai sebuah produk murni dari sebuah institusi yang bergerak di ranah jurnalistik, buku ini barangkali bisa dianggap sebagai  salah satu upaya untuk mengawal eksistensi dan keberadaan foto jurnalistik di masa-masa yang akan datang.